PERIHAL RISIKO, WANPRESTASI DAN
KEADAAN MEMAKSA
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Kuliah
Mata Kuliah:
Hukum Perdata 2
Oleh:
Syaiful
Fauzi
Ahmad
Sumantri
Rizalatu
Rosidah
Dosen
Pembibing:
H.
Mansyur Zawawi ,SH, M.Hi
FAKULTAS
SYARI’AH
JURUSAN
MU’AMALAH
INSTITUT
KEISLAMAN HASYIM ASY’ARI
TEBUIRENG
- JOMBANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Buku II
KUH Pdt atau BW terdari dari suatu bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum
bab I sampai dengan bab IV, memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi
perikatan pada umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya
perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Buku III KUH Perdata menganut
azas “kebebasan berkontrak” dalam membuat perjanjian, asal tidak melanggar
ketentuan apa saja, asal tidak melanggar ketentuan Undang-Undang, ketertiban
umum dan kesusilaan. Azas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai
Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Yang
dimaksud dengan pasal ini adalah bahwa semua perjanjian “mengikat” kedua belah
pihak.
Terjadinya prestasi, wanprestasi, overmacht dan
somasi, dikarenakan hukum perikatan menurut Buku III B.W ialah: suatu
hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi
hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan
orang lainnya ini diwajibkan untuk memenuhi tuntutan itu. Oleh karena
sifat hukum yang termuat dalam Buku III itu selalu berupa suatu tuntut-menuntut
maka Buku III juga dinamakan hukum perhutangan. Pihak yang berhak menuntut
dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur” sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat
dituntut dinamakan “prestasi” yang menurut undang-undang dapat berupa : 1.
Menyerahkan suatu barang. 2. Melakukan suatu perbuatan. 3. Tidak melakukan
suatu perbuatan.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apa
arti risiko, wanpretasi dan keadaan memaksa?
2.
Apa akibat hukum dari seseorang yang telah melakukan wanprestasi?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Mengetahui
maksud risiko, wanprestasi dan keadaan memakasa.
2.
Mengetahui kibat hukum dari seseorang yang telah melakukan wanprestasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Perihal Risiko
Risiko
ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar
kesalahan salah satu pihak. Barang yang diperjual belikan musnah diperjalanan
karena ada suatu kecelakaan misalnya perahu yang mengangkut barang itu karam.
Barang yang dipersewakan habis terbakar selama waktu dipersewakannya. Siapakah
yang harus memikul kerugian-kerugian itu? Inilah yang disebut risiko.
Dari apa
yang sudah diuraikan tentang pengertian risiko diatas, kita lihat peristiwa
risiko berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan satu
pihak yang mengadakan perjanjian.
Bagaimana soal risiko itu diatur dalam hukum
perjanjian? Dalam buku ke III kitab undang-undang hukum perdata, yaitu pasal
1237, berbunyi: “ Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang
tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan si
berpiutang”. Perkataan tanggungan dalam pasal ini sama dengan “risiko”. Dengan
begitu, dalam perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu tadi, jika
barang ini sebelum diserahkan, musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan
salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “si berpiutang”, yaitu pihak
yang menerima barang itu. Suatu perikatan untuk memberikan suatu barang
tertentu, adalah suatu perikatan yang timbul karena perjanjian sepihak. Dengan
kata lain, pembuat undang-undang tidak memikirkan perjanjian timbal-balik,
dimana pihak yang berkewajiban melakukan suatu prestasi juga berhak menuntut
suatu kontraprestasi, dia hanya memikirkan pada suatu perikatan secara abstrak,
dimana ada satu pihak yang wajib melakukan suatu prestasi dan suatu pihak lain
yang berhak atas prestasi tersebut.
B. Wanpretasi
Wanprestasi
adalah keadaan dimana seorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang
diharuskan oleh Undang-Undang. Jadi wanprestasi merupakan akibat dari pada
tidak dipenuhinya perikatan hukum.
Pada
umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena
kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan.
Dalam hal
wujud prestasinya “memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di
dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan
prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasi sudah ditentukan
dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah
dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi
tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian,
maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna
memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.
Surat
peringatan kepada debitur tersebut dinamakan somasi, dan somasi
inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi.
Untuk perikatan yang wujud prestasinya “tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak
menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan seorang debitur
dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu
perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi.
Akibat hukum
dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sanksi
berikut:
1.
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti
rugi).
2.
Pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian.
3.
Peralihan risiko.
Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur.
4.
Membayar
biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Hal yang dapat dilakukan oleh kreditur
dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan
sebagai berikut:
1. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian,
walaupun pelaksanaannya terlambat;
2. Dapat menuntut penggantian kerugian,
berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi tersebut dapat berupa biaya.
3. Dapat menuntut pemenuhan dan
penggantian kerugian.
4. Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian.
5. Dapat menuntut pembatalan dan
penggantian kerugi.
C. Keadaan
Memaksa (Overmacht)
Overmacht artinya keadaan memaksa. Dalam suatu perikatan
jika Debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga tidak dapat memenuhi
prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya, Debitur tidak dapat dipersalahkan / di luar
kesalahan Debitur. Dengan perkataan lain Debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya karena overmacht bukan karena kesalahannya akan tetapi karena
keadaan memaksa, maka Debitur tidak dapat dipertanggung gugatkan kepadanya.
Dengan demikian Kreditur tidak dapat menuntut ganti rugi sebagaimana hak yang
dimiliki oleh Kreditur dalam wanprestasi.
Keadaan
memaksa ada yang bersifat mutlak (absoluut) yaitu dalam halnya sama sekali
tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnyasudah hapus
karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief) yaitu
berupa suatu keadaan dimana perjanjian masih dapat juga dilaksanakan dengan
pengorbanan-pengorbanan yang besar dari hak yang berhutang. Misalnya harga
barang yang harus didatangkan oleh penjual tiba-tiba naik sangat tinggi yang
mana menyebabkan orang yang hutang tidak dapat mengirimkan barang kepada yang
berpiutang.
Unsur-unsur
overmacht (Keadaan
Memaksa)
1. Ada halangan bagi Debitur untuk memenuhi kewajiban.
2. Halangan itu bukan karena kesalahan Debitur.
3. Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari
Debitur.
Dengan adanya
Overmacht, mengakibatkan berlakunya perikatan menjadi terhenti, yakni:
1.
Kreditur tidak
dapat meminta pemenuhan prestasi.
2.
Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
3.
Resiko tidak
beralih kepada Debitur.
Jadi, dengan adanya
Overmacht tidak melenyapkan adanya perikatan, hanya menghentikan berlakunya
perikatan. Hal ini penting bagi adanya Overmacht yang bersifat sementara. Dalam
suatu perjanjian timbal balik, apabila salah satu dari pihak karena Overmacht
terhalang untuk berprestasi maka lawan juga harus dibebaskan untuk berprestasi.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan
karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak.
Wanprestasi adalah keadaan dimana seorang telah lalai
untuk memenuhi kewajiban yang diharuskan oleh Undang-Undang. Jadi wanprestasi
merupakan akibat dari pada tidak dipenuhinya perikatan hukum.
Overmacht artinya keadaan memaksa. Dalam
suatu perikatan jika Debitur dikatakan dalam keadaan memaksa sehingga tidak
dapat memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu
dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya.
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi
adalah sanksi:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh
kreditur (ganti rugi).
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan
perjanjian.
3.
Peralihan risiko.
Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur.
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di
depan hakim.
DAFTAR PUSTAKA
Salim, 2006,
Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta : Sinar Grafika
Subekti, Hukum
Perdata, Jakarta: Intermasa, 1985
Subekti,Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1980