HIKMAH DAN FALSAFAH
AL MUDHOROBAH
1. Definisi
Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya
memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya
adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara teknis, Al-mudharabah adalah
akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shohibul maal)
menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelolah
(mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, misalnya antara bank dan nasabah 50%
: 50% sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu
tidak disebabkan oleh kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu
disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola , maka si pengelola
harus bertanggung jawab sepenuhnya atas kerugian tersebut.
Dalam
sistem Mudharabah ini akadnya adalah kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola, keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak.
Landasan
dasar Syariah Al-Mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha. Hal ini tampak dari ayat-ayat berikut:
“………dan orang-orang yang berjalan di
muka bumi mencari sebagian karunia Allah………” (Q.S Al-Muzammil: 20)
Yang menjadi Wajhud – dilalah atau argumen dari Qur’an Surat
Al-Muzammil: 20 di atas adalah adanya kata Yadhribun yang sama dengan
akar kata Mudharabah, dimana berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
“Apabila telah ditunaikan shalat,
Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S Al-Jumuah: 10)
2. Pembagian
al-Mudhorobah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
a. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah
bebas).
Ialah
sistem mudharabah dimana pemilik modal
(investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan
jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis
ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja
yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
b. Al Mudharabah Al Muqayyadah
(Mudharabah terbatas).
Ialah
pemilik modal (investor) menyerahkan
modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau
orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib.[15] Jenis kedua ini
diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan
tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya
sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah
pihak sehingga wajib ditunaikan.
3. Unsur-unsur
dalam al-Mudhorobah
Seperti
halnya bentuk-bentuk usaha yang lain, bisnis mudharabah ini juga mempunyai
beberapa unsur yang harus ada guna untuk menjalin kerjasama yang baik dan sah.
Mengenai unsur-unsur yang harus ada dalam bisnis mudharabah ini adalah:
a. Pelaku
(pemilik modal maupun pengelola modal)
Dalam akad mudharabah harus ada dua pelaku, pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shhib al-mal),
sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil).
b. Objek
Mudharabah (modal dan kerja)
Merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku.
Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang
diserahkan dapat berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya,
sedangkan kerja yang diserahkan bias berbentuk keahlian, keterampilan, selling
skill, management skill, dll.
c. Persetujuan
kedua belah pihak (Ijab-Qabul)
Ijab-qabul merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum. Disini kedua
belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad
mudharabah.
d. Nisbah
Keuntungan
Nisbah merupakan rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam
akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua
belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya,
sedangkan shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nishab
keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah
pihak mengenai cara pembagian keuntungan
Dalam pembahasan tentang hikmah al
Mudhorobah ini,unsur saling ridho itu menjadi penting. Lantas bagaimana agama
mengatur hubungan kerja sama semacam itu? bagaimana syariat islam memandang
seperti apa pola kerja sama yang ribawi dan bagaimana yang halal?.
Syeh
Muhammad Yusuf Qardhawi, dalam kitab ‘Halal dan Haram Dalam Islam’ secara
khusus membahas kerja sama semacam ini dalam sub bab ‘Kerjasama Dalam Suatu
Pekerjaan dan Tentang Masalah Kapital’. Di sana, Qardhawi berujar “Sesungguhnya
Islam tidak menghalang-halangi kerjasama capital dan pengetahuan, atau antara
uang dan pekerjaan, sebagaimana dibenarkan oleh Fiqih Islam. Tetapi, kerja sama
itu harus dilandasi dengan suatu perencanaan yang baik. Kalau si pemilik uang
telah merelakan uangnya itu untuk Syirkah dengan orang lain, maka dia harus
berani menanggung segala resikonya.”
Lebih jauh, menurut Qardhawi, syariat Islam memberikan
syarat dalam Mu’amalah seperti ini, yang oleh para ahli Fiqih disebut
Mudharabah (kongsi) atau Qiradh (memberikan modalnya pada orang lain), yaitu
kedua pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian. Prosentasi keuntungan dan
kerugian didasarkan atas kesepakatan bersama. Keduanya boleh menentukan salah
satu pihak mendapatkan ½, 1/3, ¼ atau kurang bahkan lebih dari itu, sedangkan sisanya
untuk yang lain.
Sementara
Imam Asy Syaukani, dalam kitabnya, AS-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, menulis
sebagai berikut: “Syirkah harus terwujud atas dasar sama-sama ridha di antara
dua orang atau lebih. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan
keuntungan, dengan syarat masing-masing di antara mereka mendapat keuntungan
sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut.”
Namun, lanjut Syaukani, manakala mereka semua sepakat dan
ridha, keuntungannya bisa saja dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya
modal tidak sama. Hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih
sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syari’at, hal
seperti ini tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting didasarkan
atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada.”
Dalam perspektif Dr Abu Sura’I Abdul Hadi MA, riba atau
halal haramnya sebuah syirkah itu tergantung ada tau tidaknya Illat (sebab
turunnya larangan) tentang hukum riba. Dalam buku “Bunga Bank Dalam Islam”,
guru besar Syariah, Riyadh University Saudi Arabia itu berujar: “Riba berkaitan
dengan Illat yang haram, yaitu kedzaliman yang timbul adanya tindak pemerasan.
Jika dalam transaksi, baik jual beli maupun kerjasama dagang terdapat unsur
pemerasan salah satu pihak kepada pihak lain, maka dia terkena hukum riba.”
KESIMPULAN
Mudharabah adalah salah satu bentuk akad pembiayaan yang akan di
berikan kepada nasabah dalam suatu Bank. secara umum Mudharabah terbagi
kepada dua jenis, yaitu: Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
Dalam sistem Mudharabah ini akadnya adalah kerja sama
usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, keuntungan usaha dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Hal
penting dalam hikmah al Mudhorobah,
1. Kerjasama
dalam keuntungan dan kerugian
2. Saling
ridho
3. Tidak
adanya unsur pemerasan
4. Barang
dan jasanya halal.